Penulis: Napoleon Sastra

Membahas kanon sastra di skena sastra Indonesia sama seperti menembakkan Tsar Bomba ke Desa Cibaduyut. Beruntun polemik akan terjadi, berduyun penolakan akan datang. Banyak orang-orang menolak sekaligus banyak orang-orang mengiya. Isu tentang kanon sastra selalu hangat untuk didedah berulang-kali. Pengarang-pengarang yang merasa berada di arus utama Sastra Indonesia tidak lelah membahas isu ini bergalaksi-galaksi untuk mendapat kejelasan dan sebuah kepastian: wujud dari kanon sastra Indonesia.

Kanon sastra secara singkat merupakan daftar pengarang-pengarang yang menjadi patokan atau rujukan. Pengarang dalam kanon sastra berarti pengarang yang wajib dibaca. Ada beberapa ukuran dipakai, serta berbagai pertimbangan dijabarkan sebagai landasan kuat ketika memasukkan nama-nama pengarang ke dalam kanon sastra. Ada nama-nama tercatat, ada nama-nama terbuang. Masuk ke dalam kanon sastra adalah pencapaian final bagi seorang pengarang yang menjelajahi rimba raya sastra Indonesia.

Majalah Horizon pada abad ke-20 merupakan salah satu kanon sastra di Indonesia. Kemampuan pengarang dalam menaklukkan selera redaktur Majalah Horizon merupakan hal utama untuk masuk ke dalam kanon. Terbitnya sebuah tulisan di Majalah Horizon menandakan pengarang tersebut merupakan pengarang hebat, bahkan sastrawan. Akhir abad ke-20 menandai kemunduran Majalah Horizon, tetapi kanon tetap lahir kembali: koran Kompas, koran Tempo, koran Media Indonesia, dan berbagai koran-koran lain di Indonesia.

Abad ke-21 bagi manusia Indonesia yang berpetualang di hutan Sastra Indonesia adalah abad untuk menembus koran-koran. Kompas, Tempo, dan berbagai koran lain adalah indikator utama. Seseorang baru bisa dicap penulis hebat jika menembus koran. Hampir puluhan tahun kanon sastra Indonesia ada di koran, sebelum akhirnya internet dan Covid-19 membuat anomali. Internet membuat siapa saja menjadi "media", siapa saja menjadi "pusat", siapa saja menjadi "produsen", dominasi koran sebagai kanon pelan-pelan terganggu. Pernah ada masa ketika kanon koran dan internet mampu berjalan beriringan, tetapi zaman semakin kejam dan membuat orang semakin mempertanyakan keberadaan kanon. Perlukah kanon itu ada? Dan koran, apakah manusia Indonesia sekarang ini masih memerlukan kertas payah tersebut?

Produksi berita di media digital lebih efektif di internet, media-media fisik mulai sesak nafas untuk mengikuti waktu. Manusia butuh berita secara aktual, setiap detik, sementara media fisik perlu satu malam untuk mempersiapkan. Media-media fisik seperti koran bertumbangan, kanon koran mulai goyah. Akhirnya, Covid-19 datang. Banyak koran ambruk karena kondisi ekonomi mengenaskan. Pembatasan cetak diterapkan, kolom sastra di koran-koran menjadi korban, dan bila tidak beruntung, koran akan gulung tikar dan beralih menjadi e-koran.

Koran Kompas masih bertahan sebagai kanon koran. Masih banyak pengarang merasa perlu untuk mengirimkan karya ke koran Kompas sebagai wadah membaptis diri menjadi pengarang hebat. Koran Tempo sudah tumbang, e-koran menjadi solusi. Koran-koran lokal mengalami nasib berbeda: ada yang habis sepenuhnya dan ada yang bangkit kembali, tetapi dengan ketidakadaan honor.

Internet dan penggunanya semakin massif menghasilkan wacana. Kanon sastra sepertinya masih sulit berpindah dari koran ke internet. Internet juga pelan-pelan menciptakan wacana-wacana baru. Perlukah kanon sastra ada? Dan benarkah pembentukan kanon itu bersih dari suatu sistem politik pembentukan? Apakah kanon sastra merupakan sesuatu yang ahistoris, tidak punya sebuah sejarah terpadu?