Penulis: Napoleon Sastra
![]() |
Ilustrasi pengontrol ideologi. (Foto: Pinterest) |
Sebelum wafat, salah satu penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono meninggalkan warisan penting. Warisan itu berbentuk polemik, mengajak beberapa orang untuk membakar pikiran sejenak. Suatu saat, ada seorang pengguna Twitter bertanya kepada Sapardi. "Eyang, bagaimana cara menulis puisi?" kemudian Sapardi menjawab tweet tersebut secara sederhana, "Tulis saja, sastra itu tanpa kaidah."
Jawaban Sapardi di Twitter langsung menciptakan medan-laga perdebatan untuk publik Sastra. Banyak orang mendukung Sapardi, banyak orang menentang Sapardi. Masing-masing argumen para penentang dan para pendukung berkelindan. Namun, salah satu hal pasti yang dapat diambil adalah, posisi Sapardi sebagai kanon memungkinkan polemik dan perdebatan tersebut muncul.
Sosok yang menjadi kanon sastra dapat dengan mudah mengontrol alur pemikiran publik. Kanon sastra sendiri adalah sekelompok karya yang telah disusun menurut ukuran tertentu dan menjadi rekomendasi wajib-baca untuk publik tertentu. Pengarang-pengarang yang masuk ke dalam kanon sastra akan abadi, sebab nama pengarang tersebut akan selalu dilestarikan dan dibahas berulang-ulang. Kehadiran kanon sastra menuntut penjelasan minimal terhadap beberapa hal: apa ukuran yang ditentukan, siapa penyusun kanon, publik apa yang disasar oleh kanon, dan tingkat kepentingan para penyusun kanon.
Kanon sastra dapat diproduksi dengan mudah. Berbagai kompetisi, koran-koran dengan sistem kurasi, media-media online yang memakai pemeringkatan, dan toko-toko buku yang memajang deretan buku "best seller" adalah kanon. Apabila suatu karya masuk ke dalam kategori kanon, maka pencipta karya tersebut merupakan bagian dari kanon, dan sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap dunia sastra. Pengarang kanon memiliki semacam kesaktian untuk menentukan suatu hal. Sapardi berani berbicara "sastra tanpa kaidah" karena ia adalah bagian kanon, orang-orang akan mudah menyebut, "Ah, pasti ada maksud di balik ucapan."
Bagaimana jika Sapardi hanya kakek-kakek normal yang menikmati hari tua seperti orang normal lainnya? Apakah pendapatnya dapat menimbulkan polemik, atau minimal, dipertimbangkan? Kanon memang punya kekuatan khusus. Kekuatan kanon dapat menciptakan suatu permasalahan rumit: pemberhalaan tokoh. Subagio Sastrowardoyo dalam buku "Sosok Pribadi Dalam Sajak" menyentil gejala pemberhalaan ini. Seseorang yang telah mencapai suatu pencapaian seni tertentu atau melepaskan kedahsyatan estetik tertentu, lalu masuk ke dalam kanon, seakan secara otomatis telah mencapai tempat keramat. Tidak bisa dibantah, dikritik, atau diganggu-gugat.
Hal ini tentu tidak sehat bagi iklim sastra di Indonesia, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Ketokohan, kekeramatan, kesakralan, atau kekanonan suatu pengarang bukan tameng sempurna untuk melindungi diri dari kritik atau usaha-usaha pembacaan karya. Skena sastra di Indonesia terlalu banyak dijejali oleh tokoh-tokoh yang mencoba menjadi kanon dan membangun kekerabatan. Iklim diskusi dianggap elitisme atau pembangkangan.
Alhasil, kanon menjelma sebagai agama. Agama yang tidak bisa dibantah. "Karya bagus" adalah tuhan, penerbit yang menerbitkannya adalah malaikat, dan pembaca yang merekomendasikan "karya bagus" tersebut adalah hamba paling setia. Ketidakkritisan terhadap kanon membuat skena sastra di Indonesia penuh dengan tahayul. Seekor anjing bisa saja menggaris-garis kertas dengan kukunya dan menggongong sebagai tanda bahwa ia telah berkarya.
Bagian terkocaknya adalah, banyak orang memuji "karya" anjing itu.