Monitor dan Buku Catatan Takdir


Engkau datang dari entah masa depan mana, sedangkan aku entah dari mana. Di sini kita tak akan bicara tentang bagaimana suatu gelombang masa menarik seperti dua kutub magnet yang saling tarik-menarik. Entah di luar angkasa telah diciptakan sepasang monitor yang menghantui hidup kita. Monitor yang dijaga oleh maskulinitas dan feminis. Kemudian dari buku catatan takdir menerangkan jalan menuju yang disebut dengan alur, barangkali bergerak maju, atau arus balik, atau bolak-balik, seperti jalannya garis takdir yang tak dapat dielakkan sepanjang masa. Saat itu cahaya memerlukan kegelapan yang dapat difungsikan hakikatnya sebagai cahaya, karena kita hidup di masing-masing cahaya dan kegelapan yang berbeda. 

Aku melalang buana ke sana-sini, sedangkan kau berada di dunia entah berantah, yang selalu ingin kusebut penantian pada setiap tetes air mata yang berlinangan di wajah ibu kita. Dalam satu tanah, kita percaya bahwa suatu masa memiliki mesin waktu yang cukup luas dalam kepala. Aku sudah tidak ingin pergi ke lorong dalam kepala itu, karena di sana bukan tempatku sesungguhnya, yang ingin berpulang kepada rumah yang disebut dengan keabadian. Engkau seolah menjelaskan bahwa pahit itu ialah bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangan sembari tersenyum kepada hari yang telah ditinggalkan. Apakah di sini akan pantas kata selamat jalan dilontarkan sebelum titik darah penghabisan? 

Dalam ingatan, rajutan asa terus membikin sulaman-sulaman keputusasaan, seorang yang tak pandai berkuda dan tak punya peliharaan kuda, juga tak punya lahan, bahkan sepetak tanah untuk mati pun, sedangkan dalam monitor yang diperlihatkan, engkau menontonkan segalanya, yang membuatku kembali memikirkan untuk hidup di satu galaksi—seorang diri. Aku tak ingin seperti sedia kala bermanusia sebagai manusia yang sehingga empati dan simpati menarik begitu kuat dan memberat di linangan air mata, saat aku bagai mayat hidup melangkah menuju ke entah berantah. Aku seperti ketirisan peluru hujan, ditembaki bedil pilu, anak-anak ngilu melepaskan diri kepada rundunganku. Apa yang sebenarnya sedang disaksikan dua monitor di sana, dan apa buku takdir tak bisa dibikin ulang dengan gaya tulisan-tulisan yang penuh dengan keindahan dan keromantisan setiap saat. 

Aku manusia yang hidup di bumi, tapi rasa pekat di hati membuatku gamang yang menumbuhkan kebinatanganku terhadap segala rasa yang diibakan. Musim-musim berguguran, meluruhkan segala yang terbangun. Tubuhku tiba-tiba merinding—merasakan yang telah aku inginkan sejak dari lama. Nafas yang tersengal-sengal. Dada yang tertimpal batu-batu semesta, aku harus bertahan dalam pertempuran kali ini, antara aku dengan aku yang tak punya kemanusiaan di dirinya. Kekeliruan kali ini telah mengantarkanku kepada yang terbalik dari dunia adam dan hawa yang mengambara di sebuah bukit. Aku tak pandai mengembara dalam darah yang tinggal dedak di seluruh tubuhku. Aku tak mampu berkata seperti yang telah dikatakan tukang-tukang kaba, dan aku juga tak mampu melihat sebuah perang dengan senjata penakhluk semesta. Aku hanya ingin buku catatan itu, dan dua monitor itu silahkan ditenggelamkan saja pada kalimat yang sering disebut-sebut oleh pemuja lainnya. Seperti perca-perca api yang memercik ke seluruh tubuh ini. 

Keguguran musim-musim panas ini telah membuatku berpikir tentang sebuah kedudukan di dunia yang selalu kita inap-inapkan dengan hati lindap. Aku bergerak menuju hari-hari yang menggugu hati dan jantung, setelah peleraian panjang tentang menemukan jalan di ujung sana, namun aku hanya menemukan garis yang terbentang utuh seperti kawat yang melingkari tubuhku. Ke sana aku ditindih segala mata air dari mana pun, ke sini aku dihantam komet yang sengaja dituliskan dalam buku luar angkasa sana. Saat aku terbangun, ternyata tubuhku masih utuh dengan mayat yang terus saja melilitku, berkali-kali, dan seterusnya ketika saban hari terus bergetiran. 

Tentu saja kita dari lorong waktu di kepala yang berbeda, namun lorong waktu dalam kepalaku terus berputaran hingga mabukku tak dapat lagi dielakkan saat kepala tertunduk, dan bibir mengucap kalimat terakhir sebagai ganti doa yang ingin hidup hanya di satu planet seorang diri. Engkau dari jauh dihadapkan dengan monitor yang tak ingin dialihkan siarannya dengan buku catatan yang telah disunting. Sengajakah monitor itu bergerak bebas di kepalamu yang kian menembus kulitku. Tiba-tiba engkau hanya menatap dengan nada kebanyakan sumbang seperti yang sudah-sudah. Aku pun bersumbangan, seperti yang tak pernah kusebutkan lagi kepada angin, kepada awan, kepada langit, kepada jalanan, tentang dari mana saja asal anak-anak panah yang telah menancap di tubuhku. Aku manusia mati di tubuh mayat ini. 

Segalanya berguguran di sini. Kepalaku yang sesak dengan hitungan-hitungan alam lain, aku telah siap memasuki lorong waktu yang sesungguhnya waktu tak pernah ada di sana. Aku bisa melangkah utuh tanpa kepala, tanpa hati yang tergugu, tanpa segala yang pernah dialami manusia, karena aku telah menjadi sebagian dari diriku sebelum datang ke bumi. Entah itu yang dinamakan hidup sesungguhnya. Mimpi itu tak pernah menemu raungan sebagai aku yang hidup yang dibinasakan oleh kebinasaan diri sendiri. 

Di suatu masa, engkau bergerak bebas, tanpa kekang yang dililitkan di tubuhmu. Engkau menari, tersenyum lebar dengan hari yang tak pernah patah dalam hidupmu. Serupa itu dituliskan di buku itu dan ditayangkan di monitor itu. Segalanya menyelimuti hari-harimu, seakan kepunyaanmu, tak pernah ada padaku. Engkau mengelilingi bumi, membalik-balikkan merah pipi yang selalu berlenggangan di antara jemarimu yang selalu hangat. Tak pernah memikirkan galaksi-galaksi di langit itu ialah tandamu yang pernah kau idam-idamkan kepada sebuah cermin manusia. Saat melangkah mendatangi lorong waktu yang menyeret kepalamu, engkau terus mengelak, bayangan tak ingin menoleh ke arah berlainan. Di tanah itu kau genggam adam dan hawa dalam keabadian monitor. Kemudian tak pernah kau sadari panah berapi itu berterbangan menuju celah di buku catatanku, yang kian hari kian dekat, dan tertancap dalam.

Kemudian pertemuan itu dimulai dengan kedua monitor yang saling dihadapkan di angkasa sana. Berbagi buku catatan takdir di angkasa sana. Hidup yang tak pernah mengukur waktu, telah kembali dalam kekosongan dunia yang ditemukan. Kita bergerak dengan kesederhanaan putaran bumi yang terus hadir di sekolahan. Engkau mengajakku mendaki bintang-bintang dan menggali segala yang pernah engkau tanam. Tiba-tiba aku menemukan sebuah pedang dari laga yang tak pernah kau usangkan. Pedang itu berkilauan. Seketika pedang itu bernyawa, menatapku dengan seolah mata yang merah padam, dan sumbu api biru yang nyala. Aku bergeming di antara kepala yang kupikirkan tentang lorong waktu yang tak pernah ada waktu di sana. Pedang itu melekat utuh denganmu. Aku mencoba menarik dan membuangnya, namun engkau telah dulu memberikan tembok dalam lidahku—bahwa ia masih sangat hangat di tubuhmu. 

Aku tak pernah salah membuang langkah sebelumnya, perhatian itu dengan hati-hati kubangun, namun kali ini aku telah salah melangkah. Kehancuran berada di depan mata. Monitor lain yang melekat di kepalaku memberitahuku terlebih dulu tentang rundungan yang dibelenggu oleh tubuh yang dililit mayat hidup ini. Kita tak pernah membayangkan hidup di galaksi seorang diri. Bagaimana engkau telah menyiapkan itu jauh sebelum waktu datang untuk berpulang. Kau simpan utuh dalam monitor lain itu, bahkan saat monitor kita di angkasa sana telah saling berhadapan. Aku berpikir, apakah komet sengaja menghantam benda-benda langit yang tepat mengenai diriku? Namun pikiran itu hanya untuk manusia, bukan untukku yang telah mati sebagai manusia-manusia lainnya. Aku juga telah bersepakat dengan kegirangan hari-hari selanjutnya bahwa tak akan pernah ada waktu di sana, sungguh dengan sangat menggembirakan ini aku kabarkan kepada aku yang terlalu yakin, saat aku telah meninggalkan diriku yang lain. Kata selamat yang pernah kulontarkan sebelumnya, telah berubah dengan mengatakan selamat tinggal kepada manusiaku sendiri. Engkau yang hanya hidup di sini dan di sana telah memberikan patahan arang kepada darahku yang hanya tinggal dedak. 

Kepada engkau yang telah menyaksikan ini, saksikanlah secara sembunyi-sembunyi dari lorong waktu di kepalamu, baik pada yang tak pernah ada waktunya di sana, mau pun waktu terus memutar-balikkan segala yang terbentang luas. Bukan untuk kau renungkan setiap saat, tetapi cobalah berikan sedikit monitormu dan buku catatanmu dengan keadamhawaan yang di satu titik monitor dan buku catatan yang tak pernah ada di luar angkasa sana, sehingga aku dapat merasakan bahwa aku ialah manusia sesungguhnya yang tak pernah lagi dengan tubuh mati dililit mayat hidup. Silahkan jika engkau ingin. Aku selalu dengan pengharapan sebagai manusia hidup tentang itu dalam keabadianNya!


Kandang Pedati, 2021



Biodata Penulis:

Muhamad Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Alumnus Sastra Indonesia Unand. Aktif menulis cerpen, puisi dan esai.


*Cerpen ini sudah dimuat di Haluan